ACARA I
POLIPLOIDISASI
A.
Hasil Pengamatan
Hasil Pengamatan Metafase pada Akar Bawang Merah (Allium cepa)
Penambahan
Colchicine (C-metafase)
|
||||
|
||||
|
Tanpa Pemberian Colchicine
|
B.
Pembahasan
Poliploidi
adalah keadaan sel yang memiliki lebih dari dua genom dasar (3x,
4x, 5x dan
seterusnya), poliploidi ditemukan banyak terjadi
secara alami pada kingdom tanaman. Poliploidi dapat berisi dua atau lebih
pasang genom dengan segmen kromosom yang homolog, keseluruhan kromosom homolog
atau keseluruhan kromosom tidak homolog. Perbedaan satu dengan yang lain pada
sejumlah gen atau segmen kromosom yang dapat menyebabkan
sterilitas sebagian atau seluruhnya (Stebbins, 1950 dalam Sareen). Namun
tidak semua tanaman ploidi memberikan pengaruh buruk terhadap
tanaman. Secara alami poliploidi menyebabkan penampakan morfologi tanaman
sering lebih besar daripada spesies diploid pada umunya.
Penampakan morfologi itu antaralain: permukaan daun lebih luas, organ bunga
lebih besar, batang lebih tebal dan tanaman lebih tinggi. Fenomena
poliploidi di alam dapat dibagi atas : (1) autopoliploid (penambahan genom
dimana pasangan kromosomnya homolog), dan (2) allopoliploid (penambahan genom
dimana kromosomnya tidak homolog). Secara umum autopoliploid sama dengan
diploid, perbedaannya hanya tergantung pada genotip asal, serta terjadi
peningkatan ukuran sel merismatik dan sel penjaga (Sparrow, 1979 ; Poehlman dan
Sleper, 1995). Sedangkan tanaman allopoliploid dihasilkan untuk mengkombinasi
karakter-karakter yang diinginkan dari dua tetua diploid ke dalam
satu tanaman (Sparrow, 1979). Poliploidisasi merupakan Sel-sel
tanaman normal biasanya dikatakan bersifat diploid (2n=2X) dan mempunyai jumlah
kromosom tertentu, adalah bilangan dasar kromosom. Telah diketahui bahwa banyak
di antara tanaman pertanian sekarang ini serperti: gandum, kapas, tebu memiliki
set kromosom lebih dari 2.
Proses penggandaan kromosom pada tanaman dapat
dilakukan dengan cara pemberian Kolkhisin.
Poliploidisasi dapat dilakukan dengan pemberian kolkisin
pada jaringan meristem. Kolkhisin (C22H25O6N)
ialah suatu alkaloid berwarna putih yang diperoleh dari umbi tanaman Colchichum
autumnale L. (Fam Liliaceae). Senyawa ini dapat menghalangi
terbentuknya benang-benang spindel pada pembelahan sel sehingga menyebabkan sel
tidak dapat membelah dan terbentuklah individu poliploidi, dimana organisme
memiliki tiga set atau lebih kromosom di dalam sel-selnya (Suryo, 1995). Kholchicine
akan menghambat pembelahan dinding sel pada saat sel tersebut telah mengalami
duplikasi kromosom. Pada saat pembelahan sel, diketahui ada empat tahapan,
yaitu Profase, metafase, Anafase dan telofase. Pada saat profase, metafase dan
anafase kromosom akan melipatgandakan dirinya, setelah kromosom melipatgandakan
dirinya maka seharusnya setelah itu maka sel akan membentuk dinding sel yang
membelah dua sel tersebut dengah masing-masing sel satu pasang kromosom. Nah,
cholchicine menghambat terbentuknya dinding sel tersebut sehingga sel tersebut
tetap satu akan tetapi kromosomnya telah berlipat ganda, sehingga sel tersebut
menjadi poliploid.
Senyawa antimitotik yang sering digunakan
dalam proses poliploidisasi adalah kolkisin yang merupakan senyawa alkaloid
yang berasal dari umbi tanaman berbunga famili Liliaceae yang dikenal sebagai
rumput-rumputan yang tumbuh pada musim gugur (Colchicum autumnale L.).
Kolkisin sering dipakai untuk pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas baru.
Mekanisme kolkhisin yang dapat menyebabkan mutasi pada kromosom bawang merah yaitu
karena adanya senyawa ini mencegah terjadinya polimerasi mikrotubulus karena
cincin yang terdapat pada kolkhisin berikatan dengan alfa-tubulin dan
beta-tubulin. Hal ini menyebabkan mikrotubulus tidak dapat terbentuk sehingga
pada saat pembelahan sel, benang–benang spindel yang berasal dari mikrotubulus
tidak muncul ( Crowder, 1997 ). Akibatnya pemisahan
kromosom dari metafase ke anafase tidak berlangsung sehingga sel tidak dapat
membelah tetapi jumlah kromosom yang terkandung di dalamnya telah mengalami
duplikasi (memiliki sister kromatid). Sister kromatid dapat saling memisah di
dalam sitoplasma pada tahap c-anafase yang dilanjutkan dengan pembentukan
dinding inti. Sehingga inti sel memiliki jumlah kromosom yang berlipat ganda (
Suryo, 1995 )
Adapun
ciri-ciri tanaman polipoidi yakni secara alami poliploidi menyebabkan
penampakan morfologi tanaman sering lebih besar daripada spesies
diploid pada umunya. Penampakan morfologi itu antaralain: permukaan
daun lebih luas, organ bunga lebih besar, batang lebih tebal dan tanaman
lebih tinggi. Fenomena ini disebut sebagai gigas atau jagur (Kuckuck et
al., 1991). Populasi poliploidi mempunyai kemampuan berkompetisi lebih baik
dibanding tanaman diploid yang ditunjukkan dengan daerah penyebarannya yang
luas (Karmana, 1989). Menurut Poehlman dan Sleper (1995) poliploidi juga
memberi peluang untuk merubah karakter suatu tanaman melalui perubahan jumlah
genom dan kontribusi gen-gen alelik pada karakter tertentu. Selain itu, menurut
Thomas (1993) tanaman poliploidi menunjukkan resistensi terhadap penyakit,
tanaman poliploid juga lebih unggul jika dikonsumsi karena rasanya lebih enak,
mudah dicerna, sebagian besar berstruktur karbohidrat dan seratnya kurang
kasar. Karmana (1989) menyatakan bahwa tanaman budidaya poliploidi berperan
besar dalam penyediaan protein, lemak dan karbohidrat dunia dibandingkan dengan
tanaman diploid.
Poliploidi
seringkali memberikan efek dramatis dalam penampilan atau pewarisan sifat yang
bisa positif atau negatif. Tumbuhan secara umum bereaksi positif terhadap
poliploidi. Tetraploid (misalnya kentang) dan heksaploid (misalnya gandum)
berukuran lebih besar (reaksi "gigas", atau "raksasa")
daripada leluhurnya yang diploid. Karena hasil panen menjadi lebih tinggi,
poliploidi dimanfaatkan dalam pemuliaan tanaman. Berbagai kultivar tanaman hias
(misalnya anggrek) dibuat dengan mengeksploitasi poliploidi. Reaksi negatif
terjadi terhadap kemampuan reproduksi, khususnya pada poliploidi berbilangan
ganjil, meskipun ukurannya membesar. Karena terjadi ketidakseimbangan pasangan
kromosom dalam meiosis, organisme dengan ploidi ganjil biasanya mandul (steril).
Pada
praktikum pemuliaan tanaman acara pertama mengenai poliploidi diperoleh hasil
berupa penggadaan kromosom yang mana disebabkan oleh penambahan senyawa
kolkisin. Kolkisin mempengaruhi pembelahan mitosis pada sel ketika fase
metafase (bukan anafase) karena dengan adanya kolkisin, di dalam sel tidak
terbentuk benang spindel, sehingga kromosom anakan tidak bergerak ke
kutub-kutub sel. Dengan demikian maka fase-fase pembelahan mitosis berhenti
pada metafase dan tidak terjadi pembelahan anafase. Poliploidisasi dapat
terjadi melalui induksi berbagai zat-zat kimia, salah satunya adalah kolkhisin.
Kolkhisin (C22H25O6N) merupakan suatu alkaloid
yang berasal dari umbi dan biji tanaman Colchicum autumnale. Kolkhisin
bersifat sebagai racun yang pada tumbuhan memperlihatkan pengaruhnya pada
nukleus yang sedang membelah. Larutan kolkhisin dengan konsentrasi
yang kritis mencegah terbentuknya benang-benang spindel dari gelendong inti
sehingga pemisah kromosom pada anafase dari mitosis tidak berlangsung dan
menyebabkan penggandaan kromosom tanpa pembentukan dinding sel. Tidak
ada ukuran tertentu untuk besarnya konsentrasi larutan kolkhisin yang digunakan
dan lamanya waktu perlakuan. Masing-masing tergantung pada bahan
yang dipakai. Pada umumnya kolkhisin akan bekerja efektif pada
konsentrasi 0,01-1%. Lamanya perlakuan berkisar 3-24
jam. Untuk Allium cepa, cukup memerlukan konsentrasi
larutan yang rendah dan waktu perlakuan yang pendek.
Menurut
jurnal dari pusat konservasi tumbuhan kebun raya-LIPI bahwa Penggandaan kromosom dan peningkatan material
genetik menyebabkan volume sel poliploid biasanya membesar (Song et al., 2012).
Periode G-2 terjadi pada sintesis protein-protein yang diperlukan dalam proses
mitosis, seperti sub-unit benang gelendong, serta pertumbuhan organelorganel
dan makromolekul lainnya (Sastrosumarjo dan Syukur, 2013). Dengan demikian,
saat sel terpapar kolkisin, sel telah memiliki organel-organel dan kromosom
yang mengganda, namun tidak terjadi pembelahan sel sehingga ukuran sel menjadi
besar. Bibit P. amabilis yang memiliki daun tebal dan berwarna lebih hijau kemudian
diseleksi untuk analisis stomata dan kromosom. Sehingga hal ini sesuai dengan
hasil praktikum yang telah diperoleh yakni terjadinya penggadaan kromosom
setelah ditambahkan senyawa kolkisin. Hasil yang sama didapat juga oleh Ye-Qing
Wu dalam jurnalnya berjudul Effect on Polyploidy Induction in Asparagus Lettuce
of Concentration and Presoaking Time of Colchicine menyatakan bahwa dengan
adanya penambahan kolkisin maka akan terjadi penggandaan kromosom namun
penggandaan tersebut dapat terjadi sesuai dengan jumla konsentrasi dari
kolkisin yang ditambahkan untuk menggandakan kromosom
Kesimpulan
Berdasarkan cara bergandanya kromosom tanaman poliploid
dibedakan atas: 1. Euploid, yaitu
tanaman poliploid dimana jumlah kromosomnya merupakan kelipatan (penggandaan)
yang sempurna dari haploidnya, 2. Aneuploid, yaitu tanaman poliploid dimana
jumlah kromosomnya merupakan kelipatan (penggandaan) yang tidak sempurna dari
haploidnya. Lalu pengaruh
kolkisin adalah Kolkisin mempengaruhi pembelahan mitosis pada sel ketika fase
metafase (bukan anafase) karena dengan adanya kolkisin, di dalam sel tidak
terbentuk benang spindel, sehingga kromosom anakan tidak bergerak ke
kutub-kutub sel. Dengan demikian maka fase-fase pembelahan mitosis berhenti
pada metafase dan tidak terjadi pembelahan anaphase. cholchicine menghambat
terbentuknya dinding sel tersebut sehingga sel tersebut tetap satu akan tetapi
kromosomnya telah berlipat ganda, sehingga sel tersebut menjadi poliploid.
Adapun ciri-ciri tanaman polipoidi yakni secara alami poliploidi menyebabkan
penampakan morfologi tanaman sering lebih besar daripada spesies diploid pada
umunya. Penampakan morfologi itu antaralain: permukaan daun lebih luas,
organ bunga lebih besar, batang lebih tebal dan tanaman lebih tinggi.
Daftar
Pustaka
Sareen, P. K., J. B.
Chowdhury and V. K. Chowdhury. 1992. Amphidiploids/synthetic crop
species, p. 62-67. In Kaloo, G., and J.B. Chowdhury
(Eds.). Distant Hybridization of Crop Plants. Springer-verlag. Berlin.
Sparrow, D.H.B. 1979.
Special techniques in plant breeding, p. 37-52. In Genetics in
Plant Breeding (Brookhaven symposia in biology vol. 9). New York.
Poehlman, J.M. and D.A.
Slepper. 1995. Breeding Field Crops. Fourth Edition. Iowa
State Uni.Press/Ames.
Suryo. 1995. Sitogenetika. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta, hal 219 – 224.
Crowder, L.V. 1997. Genetika Tumbuhan. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta, hal 301.